Manajemen Sumberdaya Wilayah : Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdagangan yang sudah distandardisasi. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon).

Berdasarkan studi yang dilakukan CIFOR yang bekerjasama dengan Universitas Maryland pada 1998, para peneliti menyimpulkan bahwa penilaian tahap awal perdagangan karbon yang dianggap merupakan pemecahan "win-win" (menguntungkan kedua belah pihak) bagi seluruh stakeholder mungkin dianggap terlalu optimis. Hasil analisa yang dilakukan menunjukkan beberapa kondisi dimana proyek penyimpanan karbon di bidang kehutanan ini mungkin sesuai untuk diterapkan. Disamping itu mereka juga menyoroti beberapa aspek pengamanan yang mungkin diperlukan.

Peran Hutan dalam Perdagangan Karbon

Hutan kita yang dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam proses fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan atau emisi yang dikeluarkan dari aktivitas makhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2, sehingga keseimbangan dapat terjaga. Berkaitan dengan fungsi hutan tersebut, munculah paradigma baru akan manfaat hutan yang berperan didalam penyimpanan karbon. Disebutkan bahwa biomas pohon dan vegetasi hutan berisi cadangan karbon yang sangat besar yang dapat memberikan keseimbangan siklus karbon bagi keperluan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini.

Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan sejumlah besar karbon).

Lalu muncul pertanyaan hutan yang seperti apa yang layak untuk dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto dengan mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan batasan kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih menyebutkan bahwa hutan dalam rangka mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah ;
1. Luas hutan minimal 0,25 Ha
2. Posentase penutupan tajuk 30 %
3. Tinggi pohon minimal 5 meter

Indonesia dengan luas hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah kelayakan nilai yang ditawarkan dari kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nilai pemanfaatan yang diperoleh Indonesia atas kompensasi tersebut.

Mekanisme Perdagangan Karbon

Sesuai dengan mandat dari Perpres No. 46 Tahun 2008, DNPI memiliki tugas untuk merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon. Mandat tersebut sekaligus menjadi tupoksi Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon (MPK). Divisi MPK juga bertugas untuk menjadi Sekretariat Komite Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) dalam fungsinya sebagai Designated National Authority (DNA) proyek CDM untuk Indonesia.

Secara garis besar, kegiatan Divisi MPK adalah sebagai berikut;
  • Sosialisasi dan konsultasi publik tentang perdangangan karbon;
  • Monitoring dan evaluasi status pengembangan pasar karbon di Indonesia;
  • Mengembangkan dan mendukung potensi dan instrumen pasar karbon di Indonesia sekaligus partisipasinya di pasar karbon bilateral, multilateral atau internasional;
  • Merumuskan kebijakan, strategi dan mekanisme perdagangan karbon.
Kelayakan Kompensasi Perdagangan Karbon

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sektor energi memiliki potensi penjualan karbon hingga 60 juta ton, sedangkan sektor kehutanan memiliki potensi hingga 28 juta ton, dan diperkirakan setiap tahunnya Indonesia dapat menjual 20.000 ton karbon. Jika saat ini harga pasaran karbon di dunia internasional mencapai USD 5-6 per-ton, maka Indonesia dapat meraup keuntungan hingga USD 528 juta.

Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO2 ini yang diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4 juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton karbon.

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Ekonomi Indonesia Di Masa Mendatang

Sebagai Negara dengan iklim tropis yang berbentuk kepulauan dengan hutan hujan tropis dan SDA laut (coral)  yang melimpah, seluas 5,8 juta km, dan garis pantai terpanjang 81000 km dengan SDA berupa fitoplankton tentu banyak yang bisa kita perbuat. Seperti kita ketahui selama ini, hutan-hutan di Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang menjadi penyeimbang dalam emisi karbondioksida dan penghasil oksigen sebagai sumber kehidupan.

Laut dalam hal ini coral dan fitoplankton saat ini menjadi salah satu bahan pembicaraan menarik para ilmuan, hal ini terkait dengan masalah global warming. Dimana laut dikatakan dapat menjadi peng-Emisi karbon terbesar. Bagaimana tidak, 3/4 dari bumi ini adalah lautan, di sisi lain hutan-hutan di bumi ini telah mengalami kerusakan, alih fungsi, bahkan di eksploitasi besar-besaran hingga tak tersisa. Dengan begitu, coral menjadi alasan realistis untuk masalah ini. Sebagian ilmuan mengatakan bahwa laut dapat menjadi “carbon sink’ atau pengemisi karbon, sebagian lagi mengatakan bahwa laut menjadi ;carbon source’ atau sumber karbon. Sampai kini pendapat ilmuwan terpolarisasi atas tiga kelompok. Pertama, kelompok ilmuwan teoretis yang mengacu pada teori pertukaran karbon di alam.

Mereka meyakini, di dalam lautan yang luasnya ¾ permukaan bumi hidup fitoplankton yang berfotosintesis sehingga menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Tesis ini mendasari teori, lautan adalah reservoir raksasa penyerap karbon. Mereka menduga laut mampu menyerap 6 peta gram (6.000 juta ton) karbon per tahun dari CO atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil. Hal ini masih menjadi perdebatan hebat yang belum terselesaikan. Isu memperdagangkan karbon yang bersumber dari lautan, sudah didengungkan sejak tahun lalu, dan makin gencar menjelang WOC-CTI di Menado 11 – 15 Mei 2009. Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan mengklaim laut dan pantai Indonesia mampu menyerap karbon 66,9 juta ton per tahun dan karbondioksida (CO2) 245,6 juta per tahun.

Dengan melihat kenyataan ini, Indonesia yang memiliki SDA coral melimpah dapat menjadi salah satu Negara yang diuntungkan. Dalam konfrensi PBB yang dilakukan di Bali, dikatakan bahwa Negara-negara maju harus membayar denda dengan melihat jumlah polutan yang mereka keluarkan. Dan Indonesia memiliki andil mendapatkan dana tersebut dengan alasan carbon sale. Sesuai dengan hasil KTT iklim yang menyimpulkan bahwa Negara-negara terkaya di dunia mempunyai tanggungjawab historis untuk memelopori penyeimbangan anggaran karbon dengan mengurangi emisi gas buang karbon mereka sebesar minimal 80 persen dari angka tahun 1990 sebelum tahun 2050, demikian hasil kajian Badan Pembangunan PBB (UNDP) yang diluncurkan di Jakarta, Selasa 27 Nopember 2007.

Selain diwajibkan memangkas emisi, negara maju juga sudah seharusnya mendukung pembentukan dana investasi global sebesar 86 miliar dolar Amerika atau setara dengan 0,2 persen GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik mereka tiap tahunnya untuk membiayai upaya adaptasi internasional melindungi kaum miskin di dunia.Laporan UNDP juga menganjurkan dibentuknya fasilitas upaya mitigasi perubahan iklim (CCMF), yang dibiayai oleh negara maju, dan dirancang untuk menyediakan insentif, termasuk akses pada teknologi energi bersih, untuk memandu negara berkembang bisa jalan di pola pembangunan yang lebih hijau.

Yang dapat kita simpulkan dalam hal ini adalah, Indonesia harusnya memastikan dulu apakah perairannya, 5,8 juta km sebagai karbon sink atau source. Jika ternyata sebagai Penyerap karbon (carbon sink), maka indonesia dari segi ekonomi akan mendapat kucuran dana cukup besar dari Negara-negara maju, namun jika ternyata sebagai penghasil karbon(carbon source), maka bersiaplah mengalami degradasi ekonomi yang cukup parah, mengingat Indonesia masih merupakan salah satu Negara berkembang yang ekonominya sedang mengalami perkembangan fluktuatif.

Penolakan Perdagangan Karbon

Karbon dalam unsur kimia di lambangankan dengan C. karbon berada di setiap makhluk hidup di bumi ini. Banyaknya perdebatan dan pembicaraan tentang perdagangan karbon belakangan ini adalah tentang karbondioksida atau CO2 ke atmosfir bumi. Menurut beberapa pihak perdagangan karbon adalah salah satu solusi dari perubahan iklim dan untuk menghentikan laju penggerusakan hutan yang tinggi di negara-negara penyerap karbon seperti Indonesia.

Organisasi pemerhati lingkungan, Greenpeace, mengusulkan sesuatu yang berbeda. Greenpeace melakukan pendekataan fund based approach dimana Greenpeace MENOLAK offset carbon trading. Hal ini karena mekanisme karbon offset tidak memberi keuntungan dalam penghentian perubahaan iklim karena tidak signifikan menurunkan emisi di negara maju.

Dengan karbon offset negara maju bisa membeli karbon dari hutan-hutan tropis di negara berkembang dengan demikian negara berkembang harus menjaga hutannya sebagai cadangan karbon yang diperjualbelikan, sementara negara maju karena telah membeli karbon maka mereka akan tetap bebas melakukan emisi, padahal rata-rata emisi karbon global di hasilkan dari negara maju.

Ada beberapa ketidakadilan dalam konsep karbon offset:
1.   Penurunan emisi menjadi kewajiban bagi setiap negara, dalam karbon offset kewajiban negara maju untuk penurunan emisi dilimpahkan/dibebankan ke negara berkembang yang berhutan tropis melalui skema perdagangan karbon (offset), dimana negara maju akan tetap melakukan emisi seperti business as usual.
2.    Karbon yang diperjualbelikan tidak boleh ada kebocoran (leakage) yang berdampak pada berkurangnya cadangan karbon di wilayah yang disepakati dalam kontrak. Untuk menetapkan, memonitor dan memverifikasi cadangan karbon di wilayah yang diperdagangkan dibutuhkan methodologi yang cukup rumit termasuk pelaporannya setiap periode. Kapasitas Indonesia dipertanyakan dalam hal ini, karena berdasarkan kasus illegal logging yang terjadi sampai saat ini belum juga bisa tertangani secara tuntas.
3.  Dampak jika terjadi kebocoran adalah si penjual (negara berkembang) harus mengkompensasi kebocoran tersebut ke pembeli (negara maju), padahal mekanisme perdagangan karbon (offset) adalah performance based, dan pembayaran dilakukan di akhir periode kontrak. Artinya jika terpantau terjadi kebocoran (leakage) maka negara berkembang harus membayar kompensasi kebocoran tersebut ke negara maju (meskipun negara berkembang belum menerima pembayaran dari negara maju). Hal ini akan menempatkan negara berkembang pada jeratan hutang yang berkepanjangan.
4.    Jika semua negara berkembang yang berhutan tropis memasuki pasar karbon maka bisa dipastikan harga karbon akan jatuh, sehingga tetap saja penurunan emisi karbon tidak terjadi secara signifikan.
5. Sehubungan dengan hutang ekologis (ecological debt) dari negara maju yang telah melakukan emisi terlebih dulu dari negara berkembang maka dalam konteks itu jumlah yang harus dibayar negara maju (seharusnya) jauh lebih besar dari pada yang dibayarkan dalam membeli karbon dari skema perdagangan karbon.

Kesimpulannya perdangangan karbon ini akan lebih banyak merugikan negara berkembang dan sesuatu yang sangat tidak adil untuk Negara-negara berkembang.

Kritik Terhadap Pemerintah

Keputusan pemerintah membuka seluas mungkin pasar karbon dinilai terlalu terburu-buru mengingat masih banyak konflik terjadi di seputar hak tenurial dan hak atas tanah yang belum diselesaikan secara adil. Dengan langkah itu pemerintah jelas terlalu menyederhanakan berbagai permasalahan struktural mendasar yang belum terselesaikan di Indonesia.

Tentang perdagangan karbon ini, pemerintah mengklaim telah menyiapkan diri dengan Skema Karbon Nusantara, yang berbasis perdagangan karbon domestik suka-rela. Selain masalah prinsipil itu, masalah lain yang sifatnya laten: tata kelola kehutanan yang masih sarat dengan nuansa KKN. Pemerintah Indonesia justru dianggap mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar berskema offset (perdagangan karbon) yang diinginkan negara-negara industri.

Skema ini dikembangkan Dewan Nasional Perubahan Iklim dan didukung Kementerian Kehutanan. Sementara itu, menurut Program Kehutanan dalam Perubahan Iklim HUMA, pemerintah Indonesia jelas sudah mendahului UNFCCC dalam hal perdagangan karbon dengan memasukkan REDD+ ke dalam SKN dan mendorong tautannya dengan pasar karbon internasional melalui mekanisme offset.

Langkah terjun bebas Indonesia dalam bisnis karbon masa depan juga ditunjukkan dengan menerbitkan izin menjalankan proyek REDD+ seluas 80.000 Ha di Kalimantan Tengah pada 30 November 2012, di sela-sela pertemuan COP 18. Proyek tersebut akan mengikuti skema Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) dan bertujuan memperdagangkan (offsets) kredit karbon yang dihasilkan.

Penjelasan kebijakan Kementerian Kehutan berjudul REDD+ tidak identik dengan Carbon Trading. Sampai saat ini fase implementasi penuh masih dalam proses negosiasi, termasuk mekanisme pasar dan non-pasar, dan mekanisme pasar yang sedang dinegosiasikan. Hal tersebut tidak serta-merta merupakan carbon trading seperti halnya Clean Development Mechanism (CDM) di bawah Protokol Kyoto yang berbasis proyek. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebijakan yang diambil pemerintah di Doha saat ini, yang notabene menunjukkan inkonsistensi dan kesimpangsiuran posisi pemerintah mengenai perdagangan karbon. Skema Karbon Nusantara menargetkan hutan kemasyarakatan sebagai penjual karbon yang artinya pasar karbon akan sampai ke perkampungan.

Sebagai kerangka regulasi awal untuk perdagangan karbon, Kementrian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20/2012, April lalu, yang mengatur penyelenggaraan karbon hutan, termasuk REDD+ yang semula adalah proyek CDM (aforestasi dan reforestasi). Mekanisme Pasar Karbon yang detail akan diterbitkan dalam peraturan tersendiri. Ini berarti pemerintah telah membentangkan karpet merah regulasi dan mekanisme untuk perdagangan karbon hutan. Saat ini bersifat suka-rela, tapi dibayangkan di masa depan akan menjadi sebagai pemenuhan persyaratan (compliant).

Menurut Koordinator WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari negara-negara maju. Kenyataan yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang cara-cara penurunan emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon ini. Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius, karena 85 % dari total emisi dunia berasal dari negara-negara maju.

WALHI sangat menyesalkan bila pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang tidak sebandingdengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami, meski negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu. Merujuk kepada fenomena yang terjadi di atas, maka perlu dikaji lebih lanjutan tentang kesiapan Indonesia sendiri didalam menghadapi kebijakan tentang perdagangan karbon ini. Jika dilihat secara umum, bahwa negara-negara berkembang sangat banyak sekali dihadapkan oleh permasalahan dalam negeri mereka, walaupun selama ini negara maju telah konsen akan kemajuan negara berkembang.

Di Indonesia sendiri banyak hal yang perlu dipersiapkan antara lain pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap perdagangan karbon ini. Wacana perdagangan karbon ini lebih dapat dilakukan pada kondisi ekonomi yang stabil, dimana kondisi masyarakat secara umum telah sejahtera. Sebagaimana penelitian tentang kompensasi karbon yang dilakukan di Costa Rika, bahwa pemilik lahan yang hutan mendapat kompensasi, atas hutan yang mereka miliki dan berkewajiban melindunginya. Namun dari penelitian ini menyebutkan, bahwa model ini cocok di terapkan di negara dengan penduduk yang tingkat kesejahteraan yang tinggi, dimana mereka mempunyai modal yang cukup tinggi untuk merawat hutan.

Sementara itu untuk di negara miskin atau negara yang berkembang, model ini kurang efektif untuk diterapkan, dimana modal yang mereka gunakan lebih banyak kepada pembangunan ekonomi, dan cenderung hanya sedikit untuk pembangunan hutan. Bahkan kecenderungan yang ada yaitu pemanfaatan hutan untuk modal dalam pembangunan. Gambaran itu terlihat dari bentuk-bentuk proyek kehutanan yang ada, belum mencapai sasaran karena beberapa kendala, termasuk didalamnya adalah modal. Perlu digaris bawahi bahwa didalam kegiatan kehutanan bukan hanya penanaman, tetapi juga pemeliharaan, pengamanan dan lain-lain yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal bentuk-bentuk kegiatan juga telah dibantu oleh pihak-pihak luar yang konsen terhadap pelestarian hutan di Indonesia.

Beberapa hal yang menyebabkan kurang efektifnya sistem perdagangan karbon ini diterapkan di Indonesia terlepas dari nominal harga yang ditawarkan antara lain adalah ;
1.    Kesiapan kelembagaan untuk mengkoordinir alokasi dana yang dikompensasikan. Harapan dari kompensasi ini adalah dana tersebut dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga mengurangi akses mereka terhadap hutan.
2.    Kesiapan regulasi yang mengatur secara detail mulai dari tata ruang wilayah, sampai kepada sistim pembagian kompensasi yang diperoleh.
3.    Status kawasan hutan yang masih tumpang tindih juga merupakan permasalahan perlu dibenahi terlebih dahulu.
4.    Moralitas seluruh elemen yang terkait dengan penggunaan dana kompensasi, dimana misi yang akan dicapai adalah bagaimana masyarakat dapat hidup sejahtera dengan jalan peningkatan ekonomi masyarakat tersebut, sehingga mengurangi dampak kegiatan mereka terhadap hutan, yang selama ini termasuk salah satu kendala terjadinya degradasi hutan.

Namun jika kondisi Indonesia sudah lebih stabil, dalam artian baik ekonomi maupun SDM yang ada telah siap, maka kompensasi yang ada sah-sah saja dengan pertimbangan ;
  • Tanpa kompensasi tersebut, sudah merupakan kewajiban kita untuk menjaga lingkungan dalam hal ini kelestarian hutan dengan melihat secara ekofeminimisme, bukan anthroposentris.
  • Kompensasi tersebut merupakan tambahan modal bagi Indonesia didalam pembangunan ekologi, sementara modal yang tadinya dialokasikan untuk pembangunan lingkungan dapat dialihkan untuk tujuan memperkuat sektor ekonomi, tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam yang ada.
Secara global dapat dikatakan, mampukah dengan dana kompensasi itu negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dengan tetap eksis didalam mempertahankan hutan mereka. Sehingga jangan sampai kata-kata yang ditulis oleh WALHI dalam unjuk rasa bahwa “Negara-negara Berkembang adalah toilet bagi negara-negara maju”. Jika ini terjadi, maka kesenjangan akan semakin terasa, dan tingkat ketergantungan terhadap negara-negara maju semakin tinggi.

Sebagai wacana bahwa aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (Kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan luas hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini.

Namun secara lebih mendalam sebagai renungan dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk penindasan dan pengekangan negara-negara maju, dimana negara-negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi, karena karbon yang mereka punya telah dijual untuk negara-negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap negara maju. Padahal nilai kompensasi itu tidak berarti apa-apa bagi mereka dengan keuntungan yang dihasilkan dan dijual kembali kepada negara-negara berkembang. Inilah yang mungkin disebut kebohongan negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar