Kalimantan Timur, Ironi di Provinsi Tambang

Aktivitas tambang tak hanya merusak tatanam ekosistem sebuah wilayah, bahkan dibanyak tempat di Indonesia, justru masyarakat menjadi korban. Mulai dari pengambilan lahan secara paksa hingga terkena imbas pencemaran dari operasi pertambangan. Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan salah satu propinsi yang banyak mengeluarkan perizinan tambang. Namun ironisnya, konsentrasi penduduk miskinnya terdapat didesa mencapai 13,66% dari 3,4 juta jiwa penduduk Kaltim. Angka prosentasenya hampir sama banyak dengan anak putus sekolah sebanyak 13,76% dari 989.910 anak usia sekolah di Kaltim.



Menurut Andrie S Wijaya, Koordinator JATAM, fakta di lapangan kebanyakan perusahaan tambang tak bertanggung jawab atas reklamasi tambangnya. Di Samarinda dimana 71% wilayahnya adalah konsesi pertambangan, kini ada 150 lubang bekas tambang. Tahun 2011 ada 5 anak tewas tenggelam. Data Dinas Kesehatan Kota (DKK) Samarinda penderita ISPA sampai awal tahun 2011 ada 17.444 kasus. Fakta ini menempatkan kota Samarinda sebagai Kota Tidak Layak Anak.

Banjir tiap tahun, pencemaran sungai, jalan-jalan rusak dan berdebu beresiko terhadap pernafasan. Belum lagi masalah ekonomi akibat hilangnya mata pencaharian karena wilayah kelolanya telah dirampas, dirusak dan tercemar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa potret “Pertambangan Jamin Generasi Suram” lengkap terlihat di Kota Samarinda.

Potret lain dapat dilihat di Sidoarjo, ratusan anak terancam putus sekolah akibat semburan lumpur Lapindo. Kualitas hidup mereka lambat laun mengalami penurunan akibat hilangnya kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Hampir setengah abad sejak era UU No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan berganti dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, tak mampu juga meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Penurunan angka kemiskinan dan tingkat pendidikan tak pernah mengalami loncatan signifikan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sendiri tidak pernah beranjak di angka 100, terakhir Indonesia menempati peringkat 124 dari 187 negara. Padahal pendidikan dan daya beli (kemiskinan) merupakan indikator penilaiannya. Antara kemiskinan dan pendidikan jelas berhubungan erat. Mahalnya biaya pendidikan dewasa ini, memaksa orang miskin memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya. Ironisnya, angka kemiskinan dan putus sekolah banyak terjadi di desa-desa dan pinggiran kota tempat pengerukan tambang.

Seraya menambahkan, JATAM mendukung sepenuhnya hak veto rakyat untuk menolak pertambangan dalam upaya mengikis generasi suram. Secara nasional kebijakan pertambangan di era SBY mencetak banyak kantong kemiskinan dan generasi suram diberbagai provinsi dan kabupaten. Pada akhirnya daerah itu tidak Layak Untuk Anak .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar