Menimbang Energi Alternatif

Dunia kini sedang dilanda kebingungan akan krisis energi yang makin memperihatinkan. Di mana ketersediaan cadangan berbagai jenis energi mulai menipis, khususnya energi yang berbahan bakar minyak (BBM). Fakta bahwa cadangan minyak dunia hanya dapat digunakan sampai 30 tahun lagi membuat para stakeholder maupun korporasi-korporasi kebingungan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.



Semua negara di dunia maupun para stakeholder yang concern akan energi kini sedang serius berpikir bagaimana mengelola serta menghemat pemakaian energi sebaik-baiknya, guna mengurangi krisis dan konflik energi yang mungkin akan timbul di masa depan.

Kini, banyak pihak di dunia sedang mengusahakan penggunaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan menghemat penggunaan energi fosil yang tidak dapat diperbarui seperti minyak bumi, gas dan lain-lain.

Di dalam negeri sendiri pemerintah kini sedang gencar mengampanyekan penggunaan energi alternatif sebagai langkah antisipasi atas kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Energi alternatif diyakini dapat mengurangi krisis energi minyak dan gas maupun energi tak terbarukan lainnya.

Namun, usaha ini belum menyentuh pada masyarakat luas khususnya di level masyarakat bawah. Jangankan bicara masalah energi alternatif oleh masyarakat awam, banyak dari kalangan pemerintah, pengusaha maupun sebagian kaum intelektual juga tidak memahami pentingnya menghemat energi sedini mungkin dan beralih ke energi alternatif seperti memaksimalkan penggunaan gas.

Presiden SBY dalam pidato sambutan ketika membuka konvensi dan pameran Indonesian Petroleum Asociation (IPA) ke-37 di Jakarta Covention Center (JCC) Senayan, mengajak kepada jajaran pemerintah pusat dan daerah, BUMN dan BUMD untuk untuk memberi contoh dalam konsumsi energi secara hemat dan efisien, di antaranya dengan menggalakkan penggunaan gas sebagai bahan bakar operasional kendaraan dinas.

Khusus untuk program pengalihan bahan bakar di sektor transportasi, SBY juga meminta kepada seluruh jajaran pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah termasuk jajaran BUMN dan BUMD, untuk terus menggalakkan penggunaan bahan bakar gas untuk kegiatan operasional kendaraan dinas mereka.

Keadaan harus segera diubah agar bangsa ini tetap eksis dan berjalan sesuai cita-cita para pendiri bangsa. Perlu ada kebijakan energi yang sustainable dan terencana serta bertanggung jawab oleh pemerintah dengan melakukan efisiensi energi secara serempak dan nasional.

Namun, untuk mewujudkan langkah itu di tingkat implementasi perlu upaya yang nyata dari pemerintah. Jangan sampai ikrar hemat energi nasional itu hanya jalan di tempat dan hanya live service semata.

Upaya konkret itu adalah mengelola energi nasional dengan sistem tata-kelola energi yang terpadu. Sistem tata kelola energi nasional yang terpadu dengan menargetkan efisiensi energi perwilayah akan memudahkan pemerintah melakukan pemetaan penyebaran dan kebutuhan konsumsi energi secara nasional.

Pengelolaan Energi

Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi.

Hal ini antara lain disebabkan tingginya ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi nasional. Berbagai permasalahan mengenai carut-marutnya pengelolaan energi di Indonesia tidak lepas dari tiga hal.

Pertama, manajemen yang diterapkan oleh pemerintah sama sekali tidak tepat. Pemerintah dan pihak swasta yang bergerak di bidang pengembangan pengelolaan sumber daya energi belum memanfaatkan dan memperhatikan geostrategi Indonesia. Semua kebijakan yang dikeluarkan tidak lepas dari kepentingan komersil dan berdasarkan keuntungan pribadi. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban dari kutukan ini.

Kedua, pemerintah sama sekali tidak tertarik dengan konsepsi pengembangan sumber daya terbarukan (renewable energy). Wacana-wacana mengenai pengembangan ini hanya sebatas ucapan pemerintah (lip service) lip service) yang tidak kunjung terlihat realisasinya. Pemerintah masih terus bergantung pada eksploitasi minyak dan gas bumi. Padahal ketersediaannya terus merosot.

Ketiga, terdapat kesalahan kebijakan yang tercantum pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas yang menyebutkan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator bagi pihak yang hanya mencari keuntungan semata, terutama perusahaan asing. Hal itu bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Berbagai persoalan ini sudah sepatutnya menjadi bahan diskusi penting pemerintah dalam menata ulang regulasi yang berlaku. Persoalan ini sudah terlalu lama tertanam dalam sistem kebijakan pemerintah.
Perhatian lebih itu dapat menjadi solusi dari permasalahan krisis energi yang dialami bangsa. Sudah seharusnya pemerintah memerhatikan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) untuk kemandirian energi nasional.


*****
Sumber :
Fathur Anas
Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar