Kita tahu Indonesia terbentuk sebagai suatu bangsa yang di dalamnya terdapat keragaman budaya, agama, bahasa, adat istiadat, ras, dan lain sebagainya. Namun dengan heterogenitas itu, bangsa Indonesia mampu menguinifikasi semua elemen bangsa dalam kesadaran fundamental ”Bhinneka Tunggal Ika”. Ungkapan integrasi nasional “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, merupakan ungkapan yang sangat baik untuk memandang keragaman kebangsaan Indonesia, sehingga keutuhan sebuah peradaban Indonesia tetap dipertahankan.
Karenanya, demi membangkitkan kembali semangat nasionalisme generasi muda, dibutuhkan persatuan dan kesatuan dengan memegang penuh semboyan negara kita, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Jadi, kalau landasan rasa kebangsaan di waktu yang lampau lebih disadari oleh rasa kebersamaan masa lalu kita, maka sekarang dan ke depan rasa kebangsaan harus lebih dilandasi oleh kesamaan pandangan tentang masa depan bersama yang akan kita tuju “sebagai suatu bangsa” (a nation).
Membumikan Wawasan Kebangsaan
Kita tahu bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berperadaban dan mempunyai masa kejayaan di masa lampau. Pada kontek awal NKRI lahir, kepentingan untuk merdeka tentu menjadi landasan utama pemersatu bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain, bahwa konsep dan elemen dasar wawasan kebangsaan adalah kemajemukan (pluralism), toleransi, dan otonomi.
Mengacu pada ketiga konsep dan elemen dasar di atas, maka idealisme untuk mengintegrasikan bangsa Indonesia dalam satu kesatuan yang utuh dapat diaplikasikan. Secara kongkrit, wawasan kebangsaan (nasionalisme) dalam implementasinya, membutuhkan keteladanan dari berbagai pihak, terutama “the power holder”. Istilah “the power holder” dapat diartikan sebagai pemegang kekuasan, yakni pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membangkitkan semangat nasionalisme generasi muda agar nantinya tumbuh rasa cinta yang mendalam kepada bangsa Indonesia.
Selama ini kelemahan mendasar bangsa Indonesia dalam membangun semangat nasionalisme adalah terletak pada orientasi pembangunan sebagai tujuan utama yang paling fundamental, bukan mengacu pada aplikasi instrumen pemberdayaan (empowerment) masyarakat menuju kesejahteraan, sehingga menyebabkan wawasan kebangsaan mulai terkikis oleh mobilisasi pembangunan, yang secara faktual lebih mengarah pada sentralitas negara yang semakin mengemuka.
Tidak heran bila, wawasan kebangsaan dan semangat pluralisme dijinakkan melalui politik homogenisasi demi pembangunan. Artinya, politisasi atas pluralisme melalui politik homogenisasi, tentu saja menjadi kendala mendasar bagi tumbuhnya wawasan kebangsaan masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, wawasan kebangsaan pada dasarnya merupakan siasat dalam menyongsong modernisasi dan mencakup penghayatan serta pengalaman tiga elemenya, yakni rasa kebangsaan, faham kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
Dalam konteks modern sasat ini, semangat kebangsaan (nasionalisme) akan mampu menggerakkan semua individu, yang pada ujungnya mampu menempatkan negara dan bangsa dalam mainstrem dunia. Elemen itulah yang sanggup menarik benang merah kebangsaan di sepanjang jalan perubahan dan kemajemukan masyarakat. (Siswono Yodowusodo, 2001).
Maka tidak heran, kalau Ahmad Baso (1997), menyatakan bahwa dalam faham kemajemukan masyarakat atau pluralisme dengan sikap mengacu dan menerima kemajemukan masyarakat itu bernilai positif sebagai rahmat Tuhan kepada manusia. Hal tersebut akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan melalui pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Kita tahu bahwa pluralisme merupakan suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan budaya bangsa atau dengan istilah “keindonesiaan” yang tiada lain adalah interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara pelaku budaya beraneka ragam itu dalam satu multing pot yang efektif.
Kendati demikian, kekhawatiran mengenai implikasi heterogenitas bangsa Indonesia, semestinya tidak perlu menjadi persoalan yang krusial. Dalam konteks ini, kita masih mempunyai falsafah negara sebagai landasan yang sangat substansial, yakni pancasila. Pancasila merupakan falsafah negara yang dapat meningkatkan faham sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dari tahun 1926 yang disublimasikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tak salah ketika Bung Karno menyatakan bahwa “peradaban yang besar tidak akan pernah runtuh terkecuali ia merobek-robek dirinya sendiri”(a great civilitizion never goes down, unless it destroy it self from within).
Revolusi Kebangsaan
Bung Karno dalam pidatonya dihadapan sidang BUPKI I Juni 1945 yang diketuai oleh Radiman Wediodingrat mengatakan bahwa negara yang akan dibentuk bukan negara teokrasi yang berlandaskan pada agama, tetapi berlandaskan pada faham kebangsaan. Faham ini bukan nasionalisme yang menyendiri (sempit), akan tetapi nasionalisme yang menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia, yaitu nasionalisme yang memikirkan kemanusiaan.
Nasionalisme menurut Bung Karno, hanya mungkin terjadi melalui sebuah revolusi, yaitu revolusi kebangsaan yang dapat mempererat persatuan seluruh elemen bangsa. Tidak heran, bila kemerdekaan Indonesia merupakan jembatan emas menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur sehingga bisa melakukan revolusi kebangsaan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan di masyarakat.
Kendala utama sebenarnya dalam merevitalisasi semangat nasionalisme di tengah-tengah kebhinneka-an Indonesia adalah terletak pada hegemoni politik kekuasaan, seperti yang dikatakan Gramsi (1997). Pertanyaanya, mungkinkah nasionalisme dapat dibangun dengan struktur bangsa Indonesia yang majemuk seperti Indonesia? Apa potensi yang mungkin dapat dikembangkan?
Hemat saya, kemajemukan bangsa Indonesia secara normatif tidak bisa diinterpretasi akan mengancam stabilitas sosial-politik Indonesia, bahkan dapat menjadi langkah primordial dalam menyatukan keragaman tersebut dalam satu komitmen untuk menjadi bangsa yang independen dan mandiri. Dan potensi yang mungkin dapat dikembangkan dengan kemajemukan bangsa Indonesia adalah terbangunnya masyarakat madani (civil society) sebagai pembentukan masyarakat yang demokratis.
*Sumber :
Mohammad Takdir Ilahi,
Mahasiswa Pascasarajana UIN Sunan Kalijaga dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar