BANYAK sarjana saat ini masih bingung mau jadi apa. Apalagi mereka yang baru lulus dan menyandang fresh graduate. Akhirnya, karena ingin cepat kerja, para lulusan baru ini menyabet pekerjaan yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Kompetensi mereka pun dipertanyakan, karena bekerja tidak sesuai imu yang dimiliki. Bila mereka mampu melewati rintangan selama menjadi "anak baru" di dunia kerja, paling banter bertahan hanya satu sampai dua tahun saja. Miris memang.
Namun demikian, tidak seluruh sarjana berlaku demikian. Mereka yang beruntung, mendapat pekerjaan sesuai dengan bidangnya, bahkan berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Menilik hal ini, sarjana saat ini dinilai tidak butuh ijazah saja, keahlian mereka pun dipertanyakan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan, para sarjana lulusan perguruan tinggi tak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah dalam mencari pekerjaan. Para sarjana harus memilki kompetensi dan keterampilan kerja yang baik sehingga dapat terserap pasar kerja dengan cepat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang, atau 5,04 persen dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Perubahan kebutuhan dunia kerja yang sangat dinamis tidak akan pernah menunggu kesiapan dunia pendidikan. Maka dari itu, dunia pendidikan harus secara cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia kerja yang sangat dinamis.
Muhaimin pun menyebutkan, perguruan tinggi harus mampu melahirkan pribadi-pribadi yang memiliki etos kerja dan motivasi yang tinggi, kreatif dan inovatif, mampu dengan cepat menyesuaikan keterampilan dan keahliannya dengan kebutuhan dunia kerja.
Sebelumnya, The Boston Consulting Group (BCG) mengatakan saat ini Indonesia menghadapi kekurangan tenaga kerja manajer tingkat menengah meski perekonomian diprediksi akan masuk 15 besar dunia dalam dasawarsa mendatang. Bahkan, BCG mengungkapkan pada 2020, kesenjangan antara permintaan dan penawaran tenaga berkualitas di Indonesia akan semakin tinggi mencapai 56 persen.
Kekurangan tenaga kerja ini berakar dari kesuksesan ekonomi Indonesia, pertumbuhan sektor jasa sangat cepat, dan lemahnya sistem pendidikan nasional dalam mempersiapkan pelajar menghadapi dunia kerja. Parahnya, hanya 22 persen dari populasi usia kuliah di Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas.
Persentasi ini pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan Brasil, Rusia, dan China dan persoalan ini diperburuk dengan fakta hampir 60 persen lulusan berganti pekerjaan pada tiga tahun pertama dan lebih sepertiganya berganti pekerjaan lebih dari sekali.
Akhirnya, mau tak mau sistem pendidikan yang match dan link dan meningkatkan atmosfer kerja dalam masa pendidikan akademik harus lah ada. Yang terpenting, harus ada peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia dengan penerapan sistem berbasis kompetensi.
Nah, sistem pendidikan di sekolah seharusnya juga tidak terpaku pada kegiatan ngobrol dan duduk saja, tetapi lebih kepada penekanan atmosfer kerja di mana pelajar diarahkan praktek kerja di lapangan. Masih minimnya link and match pada tenaga kerja Indonesia menyebabkan susah mencari manajer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar