Kontradiktif, itulah kata yang pantas untuk menjelaskan kondisi Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati sebagai aset terbesar negeri ini (mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi) justru luput dari upaya perlindungan. Dalam kontek PP No 2 tahun 2008 yang baru saja dikeluarkan oleh SBY memperlihatkan bahwa sumber daya genetik hutan sama sekali tidak pernah diperhitungkan nilai ekonomisnya. Padahal kekayaan genetik yang ada di dalam hutan bukan tidak mungkin bernilai lebih tinggi dari deposit tambang yang ada di dalamnya.
Sangat disayangkan karena keinginan untuk mengambil deposit tambang yang ada di dalam tanah, justru aset terbesar yang memiliki nilai ekonomis jauh lebih tinggi dari nilai deposit tambang itu juga hancur sebagai dampak ikutan. Analogi yang mudah adalah mengambil emas yang berada dalam bongkahan intan, karena ketidaktahuan akan nilai ekonomis intan kita menghancurkan dan membuang intan untuk mengambil emas yang terkandung di dalam bongkahan intan tersebut.
Sampai detik ini Indonesia belum memiliki aturan yang melindungi sumberdaya genetiknya. Dengan mudah pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab atas nama penelitian mengambil dan menjarah kekayaan genetik yang kita miliki. Sementara itu bioteknologi modern dengan rekayasa genetiknya, pada saat ini telah mampu melakukan upaya penyisipan gen tertentu pada species tertentu untuk menghasilkan species dengan sifat unggul yang diinginkan.
Dengan didukung keberadaan regim paten, penemuan tersebut dapat dipatenkan dan dijual dengan harga tinggi untuk memberikan untung yang sebesar-besarnya pada pemegang paten tersebut. Lalu bagaimana dengan negara yang memiliki kekayaan genetik, yang dari wilayah negaranyalah materi genetik itu diambil dan kemudian digunakan sebagai materi genetis untuk menghasilkan speciesunggul?
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (UU No.5 tahun 1994), seharusnya menindaklanjuti dengan mengkonversi konvensi internasional ini dalam tata aturan nasional yang berpihak pada kepentingan nasional dan tidak mengurangi atau mencenderai kedaulatan negara. Dalam pasal 15 UU No.5 Tahuan 1994, dinyatakan bahwa kewenangan menentukan akses terhadap sumber daya genetik ada pada pemerintah. Ketentuan-ketentuan tersebut seyogyanya ada dalam tata aturan dan perundangan nasional. Namun selain UU ratifikasi konvensi tersebut, sampai detik ini aturan yang mengatur tentang akses dan pembagian keuntungan atas penggunaan sumber daya genetik belum diatur dalam tata aturan nasional.
Inisiatif untuk membuat RUU pengelolaan dan perlindungan sumber daya genetik sampai saat ini masih berproses dan belum menghasilkan draft final yang dianggap layak untuk dianjukan ke pihak legislatif. Pada waktu yang bersamaan urgensi untuk perlindungan terhadap sumber daya genetik khususnya yang mengatur akses dan pembagian keuntungan atas penggunaan sumber daya genetik sudah sangat mendesak. Biospiracy telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara para pemilik sumberdaya genetik yang dijarah sumber daya genetiknya. Entah sudah berapa banyak plasma nuftah di pedalaman hutan hujan tropis ini yang dibawa ke lab-lab di negara-negara maju dan kemudian digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan varietas-varietas unggul yang kemudian diperdagangkan dengan perlindungan atas paten.
Urgensi untuk adanya aturan tentang akses dan pembagian keuntungan atas penggunaan sumber daya genetik muncul ketika wabah flu burung merebak dan menyebabkan kepanikan internasional. Perusahaan-perusahaan besar di bidang farmakologi berlomba-lomba untuk mendapat sample virus yang berasal dari korban-korban meninggal yang terjangkit flu burung.
Situasi kepanikan internasional digunakan oleh perusahaan-perusahaan ini untuk menekan pihak Indonesia agar berbagi sampel virus. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Pemerintah Indonesia bahkan dapat memaksakan untuk membahas alternatif mekanisme pembagian keuntungan yang adil di World Health Assembly. Tetapi sangat disayangkan kasus flu burung tidak memberikan energi positif bagi proses penyusunan draft final RUU PSDG. Sepertinya kasus yang sudah terjadi tidak digunakan sebagai bahan pelajaran agar peristiwa yang sama tidak terulang kembali.
Hal yang sangat memprihatinkan tentunya jika RUU PSDG selesai dilegislasi, tetapi sumber daya genetik yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang perlu dilindungi sudah habis dijarah oleh perusahaan-perusahaan industri kehidupan dan sudah dilindungi dengan mekanisme HAKI yang Indonesia juga bagian dari pihak dalam rejim ini.
Sampai hingga detik ini, negara megabiodiversity ini belum memiliki kepedulian yang memadai untuk melindungi warisan nasional yang bernilai ekonomis sangat tinggi di masa mendatang. Seperti ketidaktahuan akan nilai ekonomis dari sumber daya genetik yang dimilikinya, pemerintah dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang berdampak pada hancurnya sumber plasma nuftah yang seharusnya dijaga dan dikelola dengan baik.
Mungkin sudah waktunya para pakar di bidang keanekaragaman hayati dibekali dengan pengetahuan ekonomi yang memadai sehingga bisa membuat taksiran nilai ekonomis atas keberadaan sumber daya genetik di hutan-hutan lindung di negeri ini. Agar para pengambil kebijakan paham betul kerugian di masa kini dan masa mendatang ketika mereka harus mengambil pilihan untuk merusak hutan lindung.
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati sebenarnya sudah sangat jelas memberikan kedaulatan kepada negara yang memiliki kekayaan genetik seperti Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya genetik yang dimilikinya dengan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam pasal 15 konvensi juga jelas dinyatakan, ”Negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan mengambil langkah-langkah administratif dan legislatif untuk menjamin pembagian keuntungan yang adil atas hasil penelitian pengembangan dan pemanfaatan sumber daya genetik baik untuk kepentingan komersial maupun tidak.”
Dalam praktiknya, yang menguasai rejim patenlah yang kemudian menikmati keuntungan terbesar atas pemanfaatan sumber daya genetik. Negara asal dari materi genetik sama sekali tidak mendapatkan keuntungan yang berarti atas sumbangan yang sudah diberikan. Bahkan lebih memprihatinkan ketika kemudian negara asal materi genetik tersebut diharuskan membeli produk rekayasa genetik tersebut dengan harga tinggi dan dibuat bergantung dengan produk-produk tersebut. Hal ini terjadi pada beberapa komoditas pangan yang penting bagi dunia.
Varietas Punah
Tingkat kepunahan varietas species tanaman maupun hewan di Indonesia sebenarnya sudah sangat memprihatinkan, tidak perlu melihat ke dalam hutan tetapi cukup dengan memperhatikan keberadaan buah lokal yang ada di Pasar Minggu dan Kramat Jati. Hampir sebagian besar buah-buah di pasar-pasar tersebut didominasi oleh buah-buahan impor, tidak ada lagi pedagang yang menjual kecapi, buni ataupun dhuwet yang dapat kita temui di kedua pasar tersebut.
Di sektor pertanian hal yang lebih parah terjadi, dari sekitar 6000 – 8000 varietas padi yang pernah ada saat ini tersisa sekitar 2000 varietas padi lokal di Balitbiogen dan tidak lebih dari 20 varietas lokal yang dikenal oleh petani sebagai varietas lokal yang boleh dipersilangkan untuk menghasilkan benih padi unggul baru. Saat ini petani tidak lagi membenihkan sendiri padi-padi mereka tetapi cukup membeli benih padi yang dijual di pasar atau dibantu oleh pemerintaah untuk pengadaan benihnya. Hilangnya keterampilan menyilangkan benih dan memuliakan benih tidak sekedar merubah pola pertanian mandiri menjadi pola pertanian yang konsumtif, tetapi justru merubah pola pertanian mandiri manjadi pola pertanian bergantung, tidak hanya bergantung pada benih tetapi juga bergantung pada pupuk dan Saprodi lainnya termasuk pestisida.
Sebagai sebuah negara megabiodiversity dengan kekayaan genetik yang sangat luar biasa, Indonesia seharusnya memiliki posisi yang sangat penting pada era biologi di abad 21 ini. Seperti analogi mengambil emas dalam bongkahan intan, bangsa ini bergembira ketika diberikan emas, tetapi sebenarnya pencari emaslah yang beruntung karena mendapatkan bongkahan intan dan itu diberikan dengan cuma-cuma karena bangsa ini tidak paham akan nilai ekonomis intan yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomis emas yang diberikan. Hal yang sama dengan analogi di atas sedang terjadi di negri ini dengan lahirnya PP No 2 tahun 2008, bangsa ini tidak hanya memberikan deposit tambang yang ada di hutan lindung, tetapi memberikan keleluasaan pada pihak asing untuk mengakses sumber daya genetik hutan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dari bahan tambang itu sendiri.
Tulisan di atas sebenarnya memperlihatkan urgensi dari keberadaan UU yang mengatur tentang pengelolaan dan perlindungan sumberdaya genetik bagi negara megabiodiversity seperti Indonesia.
Pada 19-30 Mei 2008 di Boon, Jerman akan diselenggarakan COP 9 CBD yang akan membahas isu-isu terkait dengan keanekaragaman hayati. Event ini akan menjadi penting bagi Indonesia jika negara ini paham apa yang harus dilindungi terkait dengan kekayaan genetik yang dimilikinya. Dan tidak akan berarti apa-apa jika kesepakatan internasional yang sudah diperjuangkan tidak dikonversi dalam aturan di level nasional sehingga para pelaku penjarahan sumber daya genetik dengan leluasa menjarah karena tidak ada satu aturanpun yang dapat dikenakan untuk menjerat para penjarah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar