Indonesia berada di cincin api pasifik. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia hidup dengan 452 gunung berapi dan jalur tiga lempeng bumi yakni Eurasia, Pasifik, dan Hindia Australia. Tak ayal lagi, Indonesia menjadi negara rawan gempa karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif. Misalnya gempa yang baru-baru ini baru terjadi di Padang, Sumatra Barat, selang satu bulan setelah gempa menggunjang Tasikmalaya, Jawa Barat, selain gempa-gempa lain yang seringkali terjadi di beberapa wilayah Indonesia lainnya.
Aktivitas gempa di Pulau Sumatra diperkirakan terus meningkat dan akan terus berlanjut. Penyebabnya adalah karena gerak patahan di sepanjang pulau ini dan pergeseran dari pertemuan Lempeng Indo-Asia dan Eurasia. Gerakan ini tak akan berhenti sebelum mencapai titik stabil.
Hasil pantauan salah satu pakar geologi dari LIPI, baru-baru ini menyebutkan bahwa terjadinya gempa di Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004, gempa Jogyakarta pada 27 Mei 2006 dan Gempa Padang yang terjadi pada 30 September 2009 kemarin, memicu patahan di Samudera Indonesia.
Adanya patahan itu diperkirakan bakal mengakibatkan terjadinya gempa dahsyat berkekuatan lebih dari 8 Skala Richter yang berpotensi Tsunami. Prediksi itu beralasan, dari penelitian Prof Kerry Sieh dari Nanyang Technology University (NTU) Singapura yang memiliki catatan gempa dan patahan yang terjadi di selatan Jawa selama 12 tahun. Jika tekanan terhadap patahan semakin tinggi, bisa jadi memicu gempa yang mencapai 8,8 SR.
Masyarakat yang tinggal di sebagian tempat rawan gempa dan tsunami tersebut tentu saja tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa dilakukan adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana itu sendiri. Kepala Badan Geologi Bandung Sukhyar mengatakan, pemanfaatan budaya lokal atau pengetahuan asli yang berkembang di masyarakat lokal, cukup memegang peranan penting dalam mengurangi risiko bencana.
Misalkan tentang pemanfaataan budaya asli dalam kaitannya dengan sistem komunikasi peringatan dini bencana, telah dilakukan di Kepulauan Mentawai, yang merupakan daerah rawan bencana. Masyarakat setempat, melalui penggalian budaya asli setempat, dapat bertindak efektif saat bencana akan terjadi.
Penggunaan budaya lokal sebagai bagian dari mitigasi bencana perlu dikembangkan dan didokumentasikan di seluruh wilayah Indonesia yang rawan bencana seperti gempa, stunami. Selama ini, penggalian budaya asli untuk kepentingan sistem peringatan dini bencana sering tidak efektif karena tidak ada dokumentasi mengenai pengetahuan tradisional tersebut. Padahal, tingkat perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Jabar sangat tinggi, yang menyebabkan, hanya penduduk asli saja yang memahami budaya lokal tersebut.
Pemerintah bersama masyarakat dan seluruh lembaga yang ada baik pemerintah maupun kemasyarakatan harus bekerjasama dalam meingkatkan pemahaman masyarakat akan bencana alam yang kemungkinan besar akan menimpa mereka. Dengan pemahaman dan kesadaran itu, masyarakat yang rawan bencana bisa tanggap akan apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Bahkan masyarakat bisa meminimalkan jumlah korban yang terjadi.
Untuk mendapatkan landasan kuat dalam penanggulangan bencana yang kemungkinan besar terjadi di bumi Indonesia yang rentan ini, pada tahun 2007 Pemerintah telah mengesahkan UU No. 24 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berbagai peraturan pelaksananya juga telah dikeluarkan. Sebagai badan yang dibentuk Pemerintah setelah pengesahan UU Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan berbagai pelatihan dan pendidikan tentang penanggulangan bencana bersama lembaga terkait lainnya.
Dalam upaya peningkatan pengetahuan masyarakat akan bencana dan untuk mendukung Hari Pengurangan Bencana Sedunia (International Day for Disaster Reduction/IDDR) yang biasa diperingati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Rabu kedua bulan Oktober, yang tahun ini jatuh pada tanggal 14 Oktober, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencanangkan “Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional” yang berlangsung antara tanggal 1 sampai 31 Oktober 2009. Tema Bulan PRB Nasional tahun ini adalah “Penguatan Kelembagaan dalam Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana”. Melalui tema ini diharapkan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia berpartisipasi aktif dalam membangun sistem penanggulangan bencana yang kuat di negara ini.
Selama Bulan PRB Nasional, BNPB mengajak semua pihak, baik di tingkat nasional maupun di daerah, untuk bersama-sama meningkatkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana, melalui kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam menghadapi bencana.
Sementara itu, pada bulan September lalu UNESCO bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Provinsi Aceh telah merintis Sekolah Siaga Bencana (SSB) di Aceh yang telah mengalami derita akibat gempa dan stunami yang melanda pada 2004. SSB diharapkan menghasilkan kesepakatan draft prosedur tetap sistem peringatan dini, konsep penanggulangan, serta mobilisasi sumberdaya baik sebelum, saat, dan sesudah bencana.
Harapan lain agar terbentuk kebijakan yang akan ditindaklanjuti di bawah koordinasi kepala sekolah seperti pelatihan rutin, kegiatan tahunan sekolah terkait pengurangan risiko bencana, serta kemampuan dan keterampilan komponen sekolah dalam melakukan tanggap darurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar